Thursday, January 05, 2012

Their Culture And Mine

Jakarta, sebuah kota besar dengan kemegahan di setiap sudutnya. Gedung pencakar langit yang terhampar dimana-mana serta lampu yang bercahaya tiada henti. Semua itu tak dapat dibayangkan begitu saja tanpa pemikiran yang imajinatif. Setiap sudut daerah memiliki makna tersendiri untuk masyarakat yang bersinggah di sekitarnya. Jakarta yang tak pernah lepas dari banjir, kemacetan, tingkat kriminal yang bisa terbilang tinggi diantara kota-kota besar lainnya, dan sebagainya. Tapi itulah Jakarta, kota yang memiliki budaya tersendiri dengan berbagai makna di dalamnya.
            Sebagian besar budaya di Jakarta sudah hampir lenyap karena dimakan oleh perkembangan zaman. Saat ini generasi penerus lebih tertarik akan budaya orang barat, dan dengan begitu saja mereka melepaskan budaya yang telah diperjuangkan sejak zaman nenek moyang mereka masih bertahan.
            Budaya di Jakarta, bukan lagi budaya yang memainkan egrang sebagai permainan daerah dan bukan lagi melestarikan ondel-ondel sebagai budaya yang diwariskan. Semua itu tergantikan begitu saja dengan club-club di sudut kota. Memang tidak semua masyarakat beralih ke ‘budaya’ zaman sekarang, tapi tetap saja sebagian besar melakukannya.
            Jakarta adalah kota yang setiap malam sangat ramai oleh suara klakson mobil, kota yang diterangi lampu-lampu dengan tingkat kecerahan yang tinggi, kota yang sekarang menjadi kota termegah di Indonesia, dan lain sebagainya.
            Itulah yang ada di benakku mengenai kota Jakarta. Sejujurnya, aku senang berada di kota Jakarta selama 10 tahun ini, dan aku bangga telah menjadi bagian dari mayarakat Jakarta. Tapi di lain pihak, aku merindukan desaku. Desa yang penuh dengan kesejukan dan budaya yang masih terjaga dengan eratnya. Desa yang tak tergantikan bila dibandingkan dengan desa manapun.
            Desa itu bisa disebut desa ‘Golo’ yang berada jauh dari kota Wonogiri, salah satu kota yang berada di Jawa Tengah. Desaku merupakan desa yang tidak memiliki lampu benderang seperti halnya kota Jakarta, tidak memiliki pusat perbelanjaan yang begitu megah, tidak memiliki sarana hiburan, dan desa yang jauh dari sentuhan elektronik berteknologi tinggi. Tapi itulah desaku, desa ‘Golo’ yang tak ada di tempat lain.
            Tetapi banyak hal yang dapat ditemukan disana. Jalan setapak yang penuh dengan kabut tebal, jalan raya yang tidak diaspal melainkan hanya batu yang ditanam, sungai kecil yang airnya masih terbilang jernih hingga dapat di minum begitu saja, sawah yang terhampar begitu luasnya, dan udara sejuk yang dapat membuat tubuhku menggigil.
            Selain itu, kebudayaan di desaku masih terjaga. Tentu saja budayanya berbeda dengan provinsi lainnya. Di desaku masih terdapat permainan daerah seperti congklak, cublak-cublak suweng, dan permainan batu kerikil. Dulu, aku begitu tertarik dengan semua permainan itu. Tapi sekarang, aku tidak begitu tertarik seperti dahulu kala. Mungkinkah aku sudah terpengaruh dengan budaya yang lainnya? Atau ini hanya karena aku sudah bertumbuh menjadi sesosok remaja? Memang, permainan itu biasanya dimainkan oleh anak-anak kecil yang sedang menunggu waktu saat istirahat di sekolah.
            Kebudayaan selanjutnya adalah wayang, satu warisan yang diturunkan dari nenek moyangku. Sebenarnya arti wayang itu sendiri adalah sesuatu yang dimainkan oleh ki Dalang berupa gambar pahatan dari kulit binatang yang melambangkan watak-watak manusia.Wayang biasanya dimainkan pada pagelaran suatu acara besar di daerah permukiman warga, misalnya pada acara syukuran, sunatan atau pun pernikahan. Selain itu disaat pergantian cerita, pagelaran wayang akan diselingi acara yang dibuat oleh para sinden.
            Itu hanyalah sebagian kecil dari beberapa kebudayaan yang berasal dari daerahku. Untukku kebudayaan itu adalah suatu budaya yang sangat menarik karena dapat dilestarikan secara turun-menurun. Lagipula, budaya itu bukan sekedar ‘budaya’ biasa, tetapi budaya yang dapat memberikan makna besar bagi masyarakat luas.
            Disamping beberapa budaya yang aku rindukan, aku pun merindukan suasana di desaku. Biasanya masyarakat sekitar sudah bangun sebelum ayam berkokok. Hebatnya masyarakat sekitar. Aku saja tidak tahan bangun di pagi buta seperti itu karena suhunya yang sangat dingin. Tetapi tetap saja aku harus berusaha bangun pagi untuk membantu eyangku. Lagipula aku harus memasak sarapan untukku sendiri menggunakan kayu. Disana jarang atau hampir tidak ada masyarakat yang menggunakan kompor gas seperti halnya di Jakarta karena biaya yang relatif terbilang mahal. Jadi mau tidak mau aku harus memasak dengan cara yang sedikit primitif.
            Lain lagi halnya dengan kegiatanku di sore hari. Pada sore hari aku selalu pergi ke sawah untuk menggembalakan kambing-kambing yang ada. Walaupun jumlah kambing yang ada lebih banyak dari perkiraanku, aku tetap menikmatinya untuk menggembalakan mereka. Itu adalah hal yang sangat langka yang tidak pernah aku lakukan di Jakarta.
            Banyak sekali hal yang tak bisa aku gambarkan satu persatu mengenai desaku, tapi itulah desaku secara garis besar. Aku bangga menjadi orang yang berasal dari desa terpencil. Walaupun desaku terpencil dan jauh dari teknologi canggih, desaku masih memegang erat kebudayaan yang tersisa.
            Satu hal yang menjadi impianku adalah aku dapat membangun sebuah pondok pelestarian kebudayaan di desaku. Sehingga masyarakat sekitar dapat melihat bahwa sebuah negara tidak akan menjadi negara yang sempurna tanpa kebudayaan meskipun kebudayaan itu hanya berada di desa terpencil.

No comments:

Post a Comment